A’dengka Ase Lolo

0
  • Senin, 20 Februari 2012
  • Lembaga Budaya Batubassi

  • A’dengka Ase Lolo adalah ritual perayaan pesta panen yang sudah menjadi rutinitas warga Batubassi setiap tahun. Ritual budaya ini berlangsung menjelang panen raya dan dilakukan di rumah Pinati.

    Untuk kampung Batubassi terdiri dari empat Pinati, yakni; Pinati Parantinggia, Pinati, Langkasa, Pinati Tana Didi dan Pinati Bonto Labbu. Selain itu A'dengka Ase Lolo juga digelar di rumah Joa' sebutan seorang kepala kampung di Batubassi. Jadwal pelaksanaannya ditentukan oleh masing-masing Pinati dan Joa ini.

    Persiapan kegiatan ini dimulai dari penataan lokasi pesta, tetapi umumnya pesta ditempatkan pada halaman rumah Pinati, sedangkan alat yang disediakan warga berupa Lesung atau Assung dan penumbuk padi atau Alu serta dapur penggorengan padi yang akan ditumbuk.

    Kemudian sehari sebelum pesta, semua warga kampung berbondong- bondong ke rumah Pinati membawa padi muda nan segar yang disebut Ulu Ase sebanyak empat liter (satu gantang). Padi muda itu kemudian direndam semalaman sebelum ditumbuk saat acara pesta panen berlangsung.

    Ketika pesta mulai berlangsung, semua warga kampung berkumpul di rumah Pinati untuk menyaksikan ritual tersebut menurut keyakinan tetua kampung, bagi orang yang hadir pada pesta tersebut dapat diberi berkah (Barakka) terhadap hasil panen berikutnya.

    Prosesi acaranya, meliputi, padi muda yang telah direndam terlebih dahulu digoreng menggunakan wajan yang terbuat dari tanah pada dapur yang telah disediakan, setelah dianggap layak ditumbuk barulah kemudian diangkat dan disimpan di dalam Assung, kemudian ditumbuk menggunakan Alu oleh empat orang penumbuk yang disebut Pa'dengka.

    Untuk menciptakan nada, tumbukan Alu yang dijatuhkan ke Assung dilakukan secara bergantian oleh empat Pa'dengka. Sementara untuk mengatur iramanya agar terdengan merdu maka terdapat dua orang yang berperang disebut Pa'padekko.

    Setelah padi yang ditumbuk itu menjadi halus atau disebut juga La Ulung maka pada pagi harinya, La Ulung yang telah dibersihkan tersebut, dicampur dengan air gula merah dan air santan kepala, sebagian lainnya hanya dicampur menggunakan air santan dengan sedikit air garam yang tidak terlalu asin.

    Setalah pesta usai maka semua warga kembali berkumpul di rumah Pinati, untuk menggelar doa rasa syukur kepada Allah SWT, atas limpahan berkah yang diberikan-Nya, doa itu dipimpin oleh Iman Guru dan Pinati yang juga dihadiri oleh kepala dusun yang disebut Galla serta tokoh masyarakat lainnya. [catatan: Jumadi]
    BACA LAGI »»  

    Asal Mula Nama Batubassi

    3
  • Jumat, 20 Januari 2012
  • Lembaga Budaya Batubassi
  • Dahulu kala, sebuah wilayah tak berpenghuni disana hanya ada hutan rumpung bambu dan semak semak ilalang, daerah itu seakan menjadi perantara wilayah dataran tinggi dengan wilayah dataran rendah, hingga beberapa abab kemudian daerah itu mulai berpenghuni.

    Hutan bambunya yang rindam berubah menjadi lahan pertanian hingga saat ini berkembang dan terus berkembang menjadi sebuah kampung yang dinamai Batubassi.

    Lantas siapa yang memberikan nama kampung itu dengan kata Batubassi? Padahal wilayah terdahulunya hanya berupa semak belukar, padang ilalang yang menghijau, bahkan ribuan hektar terdapat hutan bambu dan berbagai macam jenis pepohonan besar yang rindam kemudian tak satu pun manusia yang menghuni tempat itu, bahkan konon kabarnya daerah itu hanya dijadikan ajang pertumpahan darah?

    Menjawab misteri asal mula Batubassi ini, berikut dikisahkan; berawal dari sebuah kisah yang memilukan kala itu. Saat itu terjadi peristiwa perang suku antara suku Makassar dengan suku Bugis, kedua suku kadangkala saling membantai tanpa pandang bulu, bahkan sering terjadi perang antara kedua belah pihak yang tidak mungkin terlerai.

    Peristiwa itu berangsur cukup lama, namun akhirnya api yang berkobar diantara kedua belah pihak dipadamkan oleh dua orang yang menguasai ilmu api, angin, air dan tanah (Eppa Sulapa). Cerita ini bermula ketika seorang tokoh yang cukup disegani dari suku Makkassar bernama Imanggarote mulai merasa resah melihat kekacauan itu, hingga ia berniat mendamaikan sukunya yang bertikai dengan suku Bugis.

    Langkah awal yang dilakukan Imanggarote adalah secara diam-diam membangun rumah dan bermukim diantara dua wilayah kekuasaan suku Bugis dengan suku Makkassar, daerah yang ia pilih adalah tempat yang kerap dijadikan lokasi pertarungan dan pertempuran diantara kedua suku ini.

    Misinya untuk tinggal di daerah itu tiada lain hanya berupaya membangun hubungan emosional dengan para tokoh di suku Bugis. Akhirnya upaya yang dilakukan Imanggarote berhasil. Ia bertemu dengan seorang tokoh dari suku Bugis bernama Magguliling Patta Benteng Andi Marasuki.

    Secara kebetulan Andi Marasuki, berniat sama dengan Imanggarote, ia juga resah dengan permusuhan sukunya bersama suku Makkassar, dalam perundingan kedua tokoh tersebut, mereka pun sepakat berdamai dan bekerjasama mendamaikan sukunya masing- masing.

    Langka yang dilakukan kedua tokoh itu dimulai dengan tinggal bersama, tempat yang ditinggali itu merupakan jalur yang menghubungkan wilayah suku Bugis di Bone dengan suku Makassar di Gowa.

    Keduanya pun memilih tinggal bersama di wilayah itu dengan harapan masing-masing bisa bekerjasama untuk mendamaikan pertikaian diantara kedua suku. Imanggarote bertugas menghalau sukunya yang hendak menyerang suku Bugis, sebalikya Andi Marasuki bertugas menghalau sukunya ketika hendak menyerang suku Makassar.

    Kala itu terjadi suatu peristiwa besar namun merupakan peristiwa terakhir dari kesekian kalinya terjadi. Suku Makassar hendak menyerang suku Bugis di wilayah Bone, kemudian Imanggarote bersama Andi Marasuki menghentikan gerombolan pasukan suku Makassar, namun kala itu Imanggarote sendiri meminta agar pasukan Makassar kembali ke Gowa dan menghentikan segala bentuk perlawanan dan peperangan kepada suku Bugis.

    Dalam kisah itu para pasukan Makassar tersontak diam dan heran atas kehadiran Imanggarote yang secara tidak terduga berdiri dan menghalangi perjalanan mereka. Kkarena Imanggarote ini merupakan salah satu tokoh yang disegani, maka pasukan itu mundur dan menghentikan perlawanannya. Begitu juga sebaliknya di saat pasukan Bugis hendak menyerang Makassar, Andi Marasuki meminta dengan tegas jika mencoba melakukan penyerangan terhadap Gowa maka ia sendiri yang akan menjadi lawannya.

    Hingga pada akhirnya kedua tokoh ini terjun langsung melerai pertikaian sampai pertikaian kedua suku dinyatakan berakhir setelah Andi Marasuki dan Imanggarote mengundang kedua bela pihak untuk melakukan perundingan yang berujung damai.

    Dalam simbol perdamaian kedua suku itu, Imanggarote meminta jika benar ingin berdamai harus dibuktikan dengan membawa dari Gowa sebuah simbol Besi di dalam Bata, begitu pula Andi Marasuki meminta jika benar menyatakan damai harus kembali setelah tiba di Bone membawa sebuah Batu di dalam Bata.

    Atas permintaan kedua tokoh ini, maka akhirnya kedua belah pihak kembali ke wilayahnya masing-masing dan mereka pun memenuhi permintaan Imanggarote dan Andi Marasuki hingga kedua simbol tersebut disatukan kemudian ditanam sebagai bentuk simbol perdamaian. Sejak saat itu, tempat ini disebut Batubassi. [catatan: Jumadi. sumber: Pemangku Adat Batu Bassi, Nyambeang H Jowa]
    BACA LAGI »»  
     
    Wall Press Blogger Bits | Costum IHSYAH